MENDIDIK ORANG BAIK DI ERA GLOBAL




Saya masih terus teringat pernyataan seorang Guru Besar dan Pakar Pendidikan Islam Prof.Ahmad Tafsir dalam salah sebuah orasi ilmiahnya  dalam acara Shortcourse  Penelitian Budaya yang diadakan Ditpertais bekerjasama dengan IAILM pada tahun 2009 lalu : "Menjadi Orang baik di jaman sekarang harus nekad" Itulah pernyataan yang mengusik di telinga setiap orang yang mendengarkannya. Sudah separah itukah negara Indonesia tercinta ini? Sehingga tidak ada lagi tempat nyaman bagi orang orang baik untuk hidup tenang menjalankan perintah Tuhannya.
Coba bandingkan dengan keadaan di Barat yang mulai menyadari betapa penting dan perlunya pendidikan karakter, sebagaimana pendapat Thomas Lickona (seorang Profesor pendidikan dari Cortland University) mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda zaman yang kini terjadi tetapi harus diwaspadai karena dapat membawa bangsa kepada jurang kehancuran.
10    tanda zaman itu adalah:
1.      Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja/masyarakat;
2.      Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk/tidak baku;
3.       Pengaruh per-group (geng) dalam tindak kekerasan, menguat;
4.      Meningkatnya perilaku merusak dari, seperti penggunaan narkoba,alkohol dan seks bebas;
5.      Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
6.      Menurunnya etos kerja;
7.      Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru;
8.      Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok;
9.      Membudayanya kebohongan/ketidakjujuran, dan
10.  Adanya rasa curiga dan kebencian antar individu; (Heri Gunawan: 2012:28)          

Adakah tanda-tanda tersebut terjadi di negara kita ?  Maka pantas kalau tidak dikatakan nekad bahkan cendrung idiot kalau seorang pejabat tidak memanfaatkan fasilitas dan jabatannya untuk memperkaya diri dan keluarganya ?Apa tidak dikatakan nekad kalau seorang siswa berniat lulus Ujian Nasional tanpa menyontek atau dibantu Tim sukses?  atau seorang sarjana yang ingin lulus saringan Pegawai Negeri ikut testing tanpa amunisi D3 (dulur, duit, dan deukeut) ?  Berbagai fenomena di masyarakat global sekarang yang lebih bersifat pragmatis-hedonistis, sejak kalangan bawah yang ingin mencari jalan pintas, kalangan menengah yang berusaha keatas tanpa mempedulikan agama, dan kalangan atas atau elite yang berusaha mempertahankan status quo walaupun berdiri diatas penderitaan rakyat bahkan menjual harga diri dan kehormatannya.
Lebih tragis lagi oknum para pemimpin atau penegak hukum yang seharusnya menjadi suri tauladan yang mengayomi masyarakat, malah memberikan contoh tidak baik bahkan terjerat hukum. Ironisnya berbagai kelakuan menyimpang ini disuguhkan dan sengaja ditayangkan di televisi yang mudah ditonton oleh setiap masyarakat, termasuk anak-anak yang masih mencari jatidiri. Para kader bangsa setiaphari disuguhkan berbagai tayangan-tayangan yang tidak mendidik, bahkan cendrung mengajari mereka perilaku-perilaku menyimpang dan bertentangan dengan agama serta Pendidikan karakter yang sedang digembar-gemborkan Pemerintah.
Padahal mayoritas warga Indonesia beragama Islam yangseharusnya menjadi umat terbaik. Apa yang salah dalam Sistem Pendidikan Kita? Salah satu penyebabnya meminjam istilah Said Aqil Siraj bahwa  pendidikan dewasa ini terlihat lebih mengupayakan peningkatan potensi intelegensia manusia. IQ telah menjadi sebuah "patok absolut" dalam melihat tingkat progresivitas kedirian manusia. Manusia dituntut mengasah ketajaman intelektualnya demi kemampuan mengoperasikan mekanisme alam yang menurut Jurgen Habermas, menghunjamnya hegemoni ratio instrumentalis. Produk dari instrumentalisasi intelek ini adalah terbangunnya manusia-manusia mekanis yang kering dari nuansa kebasahan ruang diri, atau dalam istilah Herbert Marcuse, one dimensional men. ( Said Aqil Siraj,2002:1). Demikianlah gambaran realitas pendidikan sekarang ini, termasuk Pendidikan Agama Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah dikejar-kejar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) tanpa memperhatikan aspek-aspek lainnya yang dimiliki setiap manusia.
Seharusnya menurut M. Athiyah al-Abrasyi (1970: 1-2) maksud dan tujuan pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi mendidik akhlak  dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas dan jujur.Sehingga semakin bertambah ilmu seseorang, maka semakin baik perilakunya dan  semakin bertambah pula kedekatannya kepada Allah.
Termasuk  mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum yang merupakan mata pelajaran wajib idealnya dapat membekali para siswa di bidang ruhani dan mental mereka, sehingga dapat membiasakan diri untuk berakhlakul karimah dalam kehidupannya sehari-hari. Ini sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No: 20 Tahun 2009 pasal 3, yang menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta tanggung jawab.
Maka ditengah-tengah upaya Pemerintah memasyarakatkan Pendidikan Karakter, ada hal yang sangat mendesak yaitu merevitalisasi proses pendidikan nasional, khususnya Pendidikan Agama Islam yang menjadi pondasi utama kebaikan karakter. Dalam arti pendidikan yang seimbang antara aspek jasmani (eksoterik) dan rohani (esoterik) manusia; aspek jismani, ruhani, dan nafsaninya, antara aspek aqal, jasad, dan qolbunya, antara aspek Tauhid, Fiqh, dan Tasawwuf. Takkala seseorang melaksanakan shalat wajib yang lima kali misalnya, bukan sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban melainkan didasari keimanan kepada Allah dan penuh khusyu dalam melaksanakannya. Sehingga shalatnya mampu melahirkan akhlakul-karimah, yaitu mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Takkala seseorang mempelajari kebaikan dan kejujuran (knowing the good), dia mampu merasakan pentingnya dalam hidup dan mencintainya (feeling and loving the good), sehingga diapun berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-harinya (applying the good).
Keseimbangan merupakan prinsip hidup dan akhlak seorang muslim, dimana akhlak yang kokoh merupakan cerminan iman yang kuat dan menjadikan pemantapan aqidah dan kepatuhan  menjalankan syariat bermakna. Sebaliknya dengan tidak memiliki akhlak, menjadi sia-sialah kemantapan aqidah dan kepatuhan menjalankan syariat. Demikian juga menjadi tidak sesuai dengan jadi diri seorang muslim apabila memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia, namun tidak ditopang kemantapan aqidah dan kepatuhan menjalankan syariat. Orang yang hanya memiliki akhlak  baik kepada sesama manusia, tetapi tidak memiliki aqidah yang benar dan tidak menjalankan syariat Islam maka tidak sempurna akhlaknya.Ia hanya berakhlak mulia kepada sesama tetapi tidak berakhlak mulia kepada Allah. Manusia seperti ini terhormat di dunia tetapi hina di akherat, sukses di di dunia tetapi gagal dan celaka di akherat.
Proses pendidikan di sekolah bukan sekedar hanya menjalankan perintah kurikulum dan mengejar nilai raport, melainkan bagaimana mendidik, membimbing, dan membiasakan berbagai kewajiban syariat dan akhlakul karimah. Inilah hakekat pembelajaran karakter yang diperlukan Bangsa Indonesia, khususnya umat Islam sekarang ini dalam mengatasi dekadensi moral yang sudah menglobal dan penuh kekacauan serta ketidakpastian.
Kalau ingin anak-anak didik kita berkarakter, maka seharusnya para orang-tua dan pendidiknya juga harus berkarakter dan pendidikan didesain untuk memanusiakan manusia. Lalu berilah mereka motivasi dan teladan dalam kesehariannya, bahkan dibiasakan dan dikondisikan dengan berbagai akhlak baik, diberi penghargaan serta sekali-kali saja dihukum jika diperlukan. Jangan terlalu sering dihukum tanpa ada motivasi dan teladan dari orang dewasanya.
Bahkan seharusnya dilaksanakan sejak dini, dalam arti pendidikan karakter sejak dalam kandungan. Sewaktu calon bayi dalam kandungan, keluarga terutama ibu calon bayi, diharapkan banyak membaca ayat-ayat Alquran, seperti surat Yusuf, surat Maryam, dll, dengan harapan ibunya tenang dan damai, yang hal itu berpengaruh kepada calon bayi yang dikandungnya menjadi manusia berkarakter kuat dan energi positif seperti Nabi Yusuf as dan Maryam. Sewaktu anak lahir disyariatkan mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kirinya, agar bayi dibiasakan mendengarkan kalimat yang baik yang menggetarkan syaraf dan jiwanya. Berkebiasaan mendengarkan yang baik akan mengukir dalam jiwa anak, yang akhirnya menjadi karakter kuat dan positif kelak ketika dewasa.
Mari berusaha menjadi teladan baik bagi para anak anak kita, berilah mereka motivasi dan membiasakan akhlak yang baik sesulit apapun lingkungan yang cendrung tidak kondusif bagi pendidikan karakter. Ada hadits Nabi saw yang artinya: " Pasti akan tetap ada segolongan dari umatku yang istiqomah terang-terangan membela kebenaran sampai datang hari kiamat" (Riwayat Hakim). Inginkah kita termasuk golongan ini yang termasuk golongan kecil tetapi selamat? Golongan tersebut sedikit bahkan cendrung aneh (ghuroba) alias nekad mempertahankan kebenaran dan Ajaran Allah ditengah-tengah menglobalnya kemungkaran-kemungkaran dan perbuatan dosa.



Comments

Popular posts from this blog

Tradisi Pembacaan Tanbih dan Pewarisan nilai-nilai Budayanya dalam komunitas TQN Suryalaya

KH. NOOR ANOM MUBAROK : ISITIQOMAH BERTAREKAT DAN BERKHIDMAH SAMPAI TITIK DARAH PENGHABISAN

Kudu Asih Ka Jelema nu mikangewa ka maneh