Pondok Pesantren Berbasis Tasawuf Dalam Pusaran Global(Sebuah Studi Antropologi terhadap TQN Pondok Pesantren Suryalaya)



Pondok Pesantren merupakan Lembaga Pendidikan Islam yang dikembangkan masyarakat muslim Indonesia secara indigenous dan sudah berakar kuat dalam masyarakat. Bahkan diakui sebagai cikal bakal atau asal muasal lembaga pendidikan pertama yang diselenggarakan umat Islam di Indonesia untuk mendidik dan membina para kadernya.
 Semakin menjamurnya Pondok Pesantren baru di pedesaan maupun di perkotaan saat ini, baik yang didirikan secara pribadi maupun yang berafiliasi kepada berbagai organisasi Islam yang ada di Indonesia membuktikan bahwa Pondok Pesantren tetap prospektif di masa mendatang. Pondok Pesantren tidak lagi identik hanya berada di pedesaan-pedesaan, melainkan hampir di setiap penjuru kota di Indonesia dapat ditemukan lembaga pendidikan berbasis Pondok Pesantren yang mampu bersaing dengan berbagai lembaga pendidikan negeri milik pemerintah.
Tidak berlebihan bila Azyumardi Azra  mengatakan pesantren mengalami ekspansi yang semula hanya rural based institution, kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan urban[1]. Ini pertanda bahwa pendidikan berbasis Pondok Pesantren tetap dapat diandalkan sebagai tempat strategis dalam upaya mendidik umat Islam dan membina para kader umat di masa mendatang.
Globalisasi yang terjadi dengan pesan modernisasi di segala bidang  bernuansa IPTEK melahirkan kultur baru berupa rasionalitas dan individualitas yang cendrung menghilangkan spiritualitas Bangsa Indonesia; derasnya arus global menggerus adat dan budaya setempat, ingin lepas dari berbagai ikatan nilai, moral dan sulit dikendalikan. Sehingga muncul budaya sekuler dan westernisasi dalam berbagai aspek kehidupan Bangsa Indonesia, menihilkan jadi dirinya sebagai orang timur dan terjebak dalam kubangan komsumtif yang cendrung materialistis serta hedonis serta menimbulkan krisis makna hidup[2]. Fenomena diatas kalau dibiarkan dan tidak disiasati oleh bangsa Indonesia, khususnya Umat Islam akan menggerogoti nilai-nilai dan budaya Islam yang sudah berabad-abad mendarah daging dan menjadi pola hidup Bangsa Indonesia sendiri.
Diantara pilar utama bangsa Indonesia yang terus menjaga nilai-nilai dan budaya Islam secara istiqomah serta mampu mencetak para kader muslim berakhlakul karimah sampai sekarang adalah lembaga pendidikan Pondok Pesantren. Bahkan Pondok Pesantren  mampu menjalankan fungsinya sebagai  ‘sub kultur’  yang memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga pendidikan agama Islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial.[3]
Adalah sangat menarik untuk meneliti bagaimana trend Pondok Pesantren mensiasati derasnya arus global dan berbagai perubahan yang terjadi di dalamnya, seperti bagaimana pesantren melakukan adaptasi, akomodasi dan konsesi untuk kemudian menemukan pola yang dipandangnya cukup tepat guna menghadapi modernisasi dan arus global yang berdampak luas dan sistemik. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori dan pendekatan antropologi dengan metode kualitatif yang memaparkan berbagai interpretasi dan fenomena perubahan yang ada, kemudian dideskripsikan secara analitis. Dengan menggunakan mode Weberian tulisan ini akan difokuskan pada sejauhmana pesantren sebagai institusi mampu mengadakan adaptasi sosio kultural dalam upaya mempertahankan identitas dan sistem nilai budayanya. Adapun sistem nilai budaya yang dimaksud disini adalah sebagaimana dikemukakan Koentjaraningrat yang diadopsi dari kerangka Kluckhohn mencakup lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yaitu:
1.    Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia,
2.    Masalah mengenai hakekat dari karya manusia,
3.    Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu,
4.    Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya,
5.    Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya[4].

Pondok Pesantren Dalam Pusaran Global
Tidak ada satu bangsapun di dunia yang tidak terimbas efek globalisasi dewasa ini, termasuk Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan berbineka suku bangsa dan adat istiadatnya. Adalah suatu hal lumlah ketika terjadinya komunikasi satu bangsa dengan bangsa lainnya akan terjadi proses saling mempengaruhi, baik berupa asimilasi, difusi atau proses lainnya sebagai media pertahanan dan penyesuaian bangsa tersebut. Perubahan sosial dalam suatu masyarakat tertentu adalah bentuk kewajaran yang terjadi dalam peradaban manusia, bahkan menjadi dinamika suatu bangsa dalam mempertahankan entitas dan budaya yang menjadi identitas aslinya. Termasuk Pondok Pesantren tidak terkecuali mengalami dampak arus globalisasi yang sangat fundamental, sehingga mengalami problematika identitas kulturalnya sebagai konsekwensi dan implikasi logis efek globalisasi tersebut.
Kelebihan Pondok Pesantren seperti yang telah dibuktikan sampai saat ini adalah kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan konstelasi kekinian yang terjadi. Sehingga proses modernisasi di Pondok Pesantren bukan proses westernisasi, melainkan hanya sebagai usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia yang aktual.[5] Sebagai bukti adalah dengan semakin banyak berdiri lembaga pendidikan berbasis Pondok Pesantren, walaupun di sisi lain tidak menutup mata ada beberapa Pondok Pesantren yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dengan berbagai sebab lainnya hanya tinggal nama dan bangunannya saja.
Sebagai bentuk lembaga pendidikan klasik, Pondok Pesantren telah mengalami transformasi yang sangat panjang. Kalau dulu Pondok Pesantren identik dengan lembaga pendidikan yang berlokasi di pedesaan, sekarang malah hampir di setiap pelosok dan setiap kota-kota besar dan menjadi lembaga pendidikan alternatif para urban diperkotaan yang intensitas rutinnya sangat padat dan tidak memiliki waktu cukup mengasuh dan memperhatikan anak-anaknya. Para orang tua dari keluarga muslim di perkotaan lebih nyaman dan percaya menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah- sekolah yang berbasis Pondok Pesantren (full day school) atau pesantren-pesantren yang menyediakan sekolah-sekolah formal di dalamnya. 
Tentu ada alasan sangat kuat mengapa para orang tua tersebut cendrung ke lembaga pendidikan Pondok Pesantren. Diantaranya adalah semakin banyaknya pilihan Pondok Pesantren dalam memenuhi animo masyarakat akan pentingnya pendidikan berkualitas dan berkarakter yang mampu mendidik tidak saja segi intelektualnya tetapi juga mental-spiritualnya dengan akhlakul karimah. Lebih dari itu sudah banyak Pondok Pesantren yang menyediakan pendidikan formal dari jenjang Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi yang berkualitas danmampu bersaing dengan sekolah-sekolah negri.
Selain itu, dan ini sangat penting adalah Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan berbasis agama (Islam) yang sudah terbukti mampu menjaga nilai-nilai tradisionalnya yang sangat baik dan dianggap lembaga pendidikan yang sukses mencetak kader umat yang soleh berakhlakul karimah sampai sekarang. Ini menjadi obat penawar ampuh dalam menghadang berbagai dampak negatif globalisasi yang mengakibatkan perubahan sangat cepat dalam berbagai aspek kehidupan manusia secara terus menerus.
Pesantren, bagaimanapun juga, masih menjaga fungsi-fungsi sosial dan kultural yang asli ditengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai bagian inheren dari tugas dan tanggung jawab historis. Oleh karena itu, pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan dapat menjadi suatu budaya tandingan yang produktif terhadap elemen-elemen budaya modern yang merendahkan nilai sosial dan idealitas spiritual. Fungsi sosio-kultural bermakna bahwa eksistensi pesantren dapat menjadi “center of significance”. Pesantren bersama dengan alatnya dapat menjadi model pengetahuan dan sekolah kehidupan yang non-dualistik seperti sebuah simbol kohesi sosial dan juga instrumen profetik dalam berhubungan dengan perubahan sosial di dunia modern. Elemen-elemen modern seperti pengetahuan yang mendalam, dualisme, materialisme, ideologi perkembangan tentunya bertentangan dengan pandangan hidup holistik pesantren. Dalam aturan-aturannya, pesantren merupakan sebuah institusi yang yang menekankan motif agama sebagai basis yang dipegang erat bagi aktivitas-aktivitas sosial dan makna kehidupan[6].
Berbagai kerumitan (complexity), kesemrawutan (chaos), dan gejolak (turbulences) yang terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia, terus menggoncang sendi-sendi kemanusiaan dan mengikis nilai-nilai agama yang dianut manusia. Semua ini tidak akan mampu dihadapi tanpa campur tangan keyakinan agama (iman) dan pengamalannya sebagai wasilah meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah Maha Segalanya. Dalam istilah Max Webber nilai-nilai budaya agama merupakan pemicu tingkah laku manusia. Esensi agama sebagai sumber kekuatan moral dan etik mampu hadir dalam setiap aktivitas kehidupan manusia, bahkan ikut mempengaruhi kehidupannya. Ini yang tidak dimiliki oleh berbagai sekolah umum yang tidak berbasis agama, ditambah intensitas proses pendidikan di Pondok Pesantren berlangsung penuh selama 24 jam dengan bimbingan  Kyai dan para ustad lainnya.
 Kyai dan para ustad tersebut tidak hanya sekedar menjadi pengajar yang mentransformasikan dan mensosialisasikan ilmu pengetahuan, melainkan mereka juga secara otomatis menjadi figur atau mentor yang siap diduplikasi para santri dalam upaya membantu para santri menginternalisasikan dan mengidentifikasikan nilai-nilai Islam menuju manusia paripurna yang memiliki ketundukan sempurna kepada Allah swt[7].
Maka tidak heran kalau Pondok Pesantren mampu menjaga dengan baik sistem nilai budayanya sampai menjadi suatu sistem tradisi yang mempunyai ciri dan perwatakan tersendiri sebagai watak subkultur dalam kehidupan. Diantara nilai-nilai tersebut  menurut Abdurahman Wahid adalah:
a.    Cara memandang kehidupan secara keseluruhan sebagai ibadah. Semenjak pertama kali memasuki kehidupan pesantren, seorang santri sudah diperkenalkan pada sebuah dunia tersendiri, dimana peribadatan menempati kedudukan tertinggi.
b.    Kecintaan yang mendalam pada ilmu-ilmu agama sebagai nilai dalam peribadatan. Kecintaan ini dimanisfestasikan dalam berbagai bentuk seperti penghormatan seorang santri yang mendalam kepada ahli ahli ilmu agama, kesediaan berkorban dan bekerja keras untuk menguasai ilmu ilmu tersebut, dan kerelaan bekerja untuk nantinya mendirikan pesantrennya sendiri sebagai tempat untuk menyebarkan ilmu-ilmu itu. Tanpa menghiraukan rintangan yang mungkin akan dihadapi dalam kerja tersebut.
Kecintaan pada ilmu ilmu agama mampu membuat seorang Kiyai kalau perlu berjerih payah mengajar hanya seorang santri saja selama berjam-jam tiap hari. Tugas mengajar itu dilakukannya dengan penuh kegembiraan, karena ia yakin bahwa dengan cara itu saja ia pun telah mengembangkan pengetahuan agama.
c.    Keikhlasan atau ketulusan bekerja untuk tujuan-tujuan bersama. Menjalankan semua yang diperintahkan Kiyai dengan tidak ada rasa berat sedikitpun, bahkan dengan penuh kerelaan, adalah  bukti nyata yang paling mudah untuk dikemukan bagi nilai utama ini.[8]

Pondok Pesantren Suryalaya dan Sistem Nilai Budaya
Pondok Pesantren Suryalaya yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) pada tanggal 5 September 1905 sudah melewati satu abad lebih dan sekarang masuk generasi ketiga. Tentu perjalanan sejarah yang panjang tersebut merupakan proses dinamika yang tidak mudah dan sangat mengagumkan, mengingat eksistensinya sebagai salah satu Pondok Pesantren yang mengembangkan ajaran Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah (TQN) di Indonesia sampai sekarang.
 TQN yang dikembangkan di Pondok Pesantren Suryalaya mampu berkembang dengan pesat dan mempesona banyak kaum muslimin untuk berusaha mengamalkannya. Ini semua tidak terlepas dari sosok Guru Mursyidnya, yaitu Syeikh Ahmad Sohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom) yang dikenal sangat moderat, supel, dan kharismatik.
Sebagai sebuah Pondok Pesantren, Suryalaya dituntut mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut, 1) sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues); 2) sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3) sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development). Semua itu, hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peranan sebagai agent of change.
Bagaimana dengan Pondok Pesantren Suryalaya ?  Pondok Pesantren Suryalaya yang mengajarkan tarekat tentu sangat mengedepankan nilai-nilai tinggi agama Islam, sebagaimana tercermin dalam motonya:” Ilmu Amaliah Amal Ilmiah” yang bertujuan menciptakan manusia “cageur bageur” (Budi utama jasmani sempurna). Tarekat sebagai sebuah pengamalan dari tasawuf pada hakekatnya merupakan suatu cara dalam mengamalkan esensi atau inti agama Islam. Maka secara otomatis setiap orang yang sedang belajar mengamalkan tarekat, berarti sedang mengamalkan esensi agama Islam yang menjadi sumber moral dan etik dalam kehidupannya yang sangat diperlukan masyarakat global sekarang.
 Bagi para pengamal TQN Pondok Pesantren Suryalaya sudah jelas landasan utamanya adalah al-Quran dan Sunnah, dan ijma para ulama solihin. Ketika berbicara bagaimana hakekat dari hidup manusia, hakekat dari karya manusia, hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu, hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya, para ikhwan (pengamal) TQN PP Suryalaya semuanya bermuara kepada upaya mentauhidkan Allah swt. Sebagaimana tergambar dalam doa pembuka mengawali setiap dzikir, yaitu doa :
إلهى أنت مقصودى ورضاك مطلوبى أعطنى محبتك ومعرفتك
Artinya: “Ya Tuhanku Engkaulah yang ku maksud dan keridhaan-Mu lah yang kucari, berilah daku kemampuan bermahabbah dan berma’rifat kepada-Mu”.
Doa diatas menjadi kalimat pembuka ketika seorang ikhwan TQN akan berzikir jahar dan zikir khafi. Kalimat “Ilahi Anta Maqshudi” (Ya Tuhanku Engkaulah yang ku maksud) merupakan pernyataan bahwa tiada tujuan yang diharap dalam kehidupan ini selain Allah SWT, maka hakekat hidup manusia tidak lain adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya[9]. Selanjutnya kalimat “Wa ridhoka mathlubi” (dan keridhaan-Mu lah yang kucari) merupakan penegasan niat bahwa akhir dari seluruh karya yang dihasilkan dalam kehidupan ini adalah hanya untuk mencari keridhan Allah SWT.
Maka setiap manusia perlu menjaga hubungan baik dengan Allah SWT sebagai Penciptanya dan juga terhadap sesama makhluk-Nya serta menjaga lingkungan alam sekitar sebagai perwujudan ibadahnya. Untuk itu setiap saat orang-orang yang beriman perlu memohon pertolongan dan perlindungan kepada Allah dalam hidupnya. Bahkan perlu memohon agar  diberi kemampuan bermahabbah dan berma’rifat kepada-Nya, guna mencapai kebaikan di dunia dan di akherat.
Ketika seseorang istiqamah mendawamkan dzikrullah dengan kalimat yang paling afdal yaitu kalimat Laa Ilaaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah), maka pada hakekatnya merupakan penguatan akan ketauhidannya kepada Allah. Mengakui keesaan Allah sebagai Sang Pencipta, mengakui sebagai makhluk-Nya wajib tunduk dan taat atas segala perintah Allah, berasal dari Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya kelak. Maka orang yang selalu berzikir dengan kalimat tauhid akan selalu menyadari kedudukannya di hadapan Allah, mengetahui kewajiban yang harus dilaksanakannya, serta senantiasa merasa diawasi oleh-Nya.
Implikasi dari internalisasi makna tauhid dalam kehidupan sosial adalah terjalinnya hubungan harmonis antar sesama manusia dan alam tempatnya hidup. Berdasarkan konsep tauhid, lahir tatanan kehidupan sosial manusia dengan landasan bahwa manusia memiliki kedudukan sama di hadapan Allah dan karena itu setiap manusia adalah merdeka untuk berbuat dan berkehendak dengan konsekwensi harus mempertanggung-jawabkannya kelak dihadapan Allah[10]. Manakala secara faktual manusia tidak memiliki kompetensi yang sama, bahkan kesempurnaan manusia adalah kepemilikannya terhadap kelebihan dan kekurangan dirinya, maka secara naluri manusia mempunyai keinginan untuk selalu bekerjasama dengan sesamanya bahkan menjaga hubungan baik dengan makhluk lainnya serta alam sekitarnya.
Bagi ikhwan TQN PP Suryalaya pedoman hidup sebagai upaya menjaga dan melestarikan sistem nilai budaya Islami sudah ada pedomannya, yaitu Tanbih dan sekaligus menjadi keunikan TQN Pondok Pesantren Suryalaya yang membedakan dengan para pengamal TQN lainnya. Tanbih Guru Mursyid sekaligus Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) menjadi amalan yang wajib dibaca dalam berbagai acara baik bersifat agama maupun nasional kenegaraan. Apalagi pada acara manaqiban Syeikh Abdul Qodir al-Jaelani yang selalu dilaksanakan di berbagai daerah bahkan sampai ke luar negri, pembacaan Tanbih merupakan ritual utama setelah pembacaan al-Quran dalam rangkaian acaranya.
Tanbih adalah wasiat, pesan, tuntunan, peringatan, pedoman dari seorang Syeikh Mursyid,  lahir dari serangkaian dialog antara keabadian firman Allah yang universal dan eternal dengan kondisi lokal dan aktual di Indonesia. Tanbih sebagai produk budaya merupakan hasil perenungan panjang Abah Sepuh dalam memahami nilai-nilai Islam dengan bingkaian kearifan lokal. Tanbih lahir dari kesadaran tinggi Abah Sepuh untuk membingkai berbagai pesan Ilahi dalam peta kekinian agar mampu dilaksanakan dan dijadikan pedoman oleh berbagai tingkatan manusia dengan segala keterbatasannya yang mengharap kehidupan suci dan tinggi di sisi Penciptanya. Malah Tanbih diharapkan mampu membingkai kehidupan para muridnya agar tetap berlaku sebagaimana dicontohkan olehnya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai suatu pola tindakan atau panduan hidup bagi para pengikut TQN Suryalaya, Tanbih dapat membantu untuk menginterpretasi dalam memahami lingkungan hidupnya dan mendorong serta menghasilkan tindakan-tindakan untuk memanfaatkan berbagai sumber daya dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Tanbih sebagai sebuah produk kebudayaan menjadi tuntunan dan pedoman moral serta etika bagi para ikhwan TQN di tengah berbagai perubahan nilai-nilai budaya dan gempuran globalisasi.
Maka setiap ikhwan TQN Suryalaya yang benar-benar melaksanakan seluruh ajaran dan petuah Guru Mursyidnya, sudah pasti mampu menginternalisasikan nilai-nilai Tanbih dalam kehidupannya. Diantara nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Tanbih antara lain tercermin dalam  doa yang selalu dibaca dalam muqaddimah sebelum melakukan Dzikrullah:

الهى انت مقصودي ورضاك مطلوبي اعطني محبتك ومعرفتك
Do’a yang selalu dibaca sebelum mengamalkan dzikir ini mengandung empat macam tujuan TQN , yaitu :
a.       Taqarrub kepada Allah SWT : yaitu  mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan dzikrullah. Dzikrullah merupakan hakekat kecintaan seorang abid kepada Khaliqnya. Semakin banyak ia berdzikir kepada Allah, maka semakin cintalah ia kepada-Nya. Hanya Allah saja yang patut disembah, hanya pada-Nya yang dimaksud, dan hanya kepada-Nya saja mengantungkan harapan serta yang menjadi tujuan akhir hidup.
b.      Menuju jalan Mardhātillah, yaitu menuju jalan yang diridhai Allah SWT, baik dalam ‘ubudiyyah maupun di luar ubudiyyah, dan hanya mengharapkan keridloan-Nya dalam setiap kehidupan. Tidak pantas kalau mengharapkan ridha-Nya, akan tetapi tidak rela atas ketentuan Allah dan semua peraturan-Nya. Untuk itu dalam segala gerak gerik manusia diharuskan mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sehingga mampu menghasilkan : Budi pekerti atau akhlak mulia dan segala hal ihwalnya menjadi mulia pula, baik yang berhubungan dengan Allah, maupun yang berhubungan dengan sesama manusia, atau  dengan makhluk Allah lainnya.
c.       Kema’rifatan (al-ma’rifah); melihat Tuhan dengan mata hati, sehingga gamblang, tidak ragu- ragu atau bimbang terhadap Allah, baik terhadap Zat- Nya, sifat- sifat- Nya, maupun segala perbuatan-Nya. Keraguan terhadap Allah SWT akan membawa keraguan terhadap semua itu, sehingga akan meragukan berbuat kebaikan di dunia dan meragukan berbuat baik untuk bekal di akherat. Ma’rifat dan tidaknya seseorang akan tergambar baik pada ucapan, hati, maupun perbuatannya dalam kehidupan sehari-hari.
d.      Kemahabbahan (kecintaan) terhadap Allah “Dzat Laisa kamislihi Syaiun”,  yang mana dalam mahabbah itu mengandung keteguhan jiwa dan kejujuran hati secara totalitas, mengharapkan akan memperoleh sikap mencintai Allah melebihi cintanya kepada makhluk- Nya. Dengan itu akan mencintai apa yang dicintai Allah dan semua pemberian Allah dan semua ciptaan- Nya berupa dunia dan seisinya. Apabila telah tumbuh mahabbah dalam diri seseorang maka timbullah berbagai hikmah, diantaranya  membiasakan diri dengan selurus-lurusnya  dalam hak lahir dan batin, serta mampu berbuat adil dalam arti dapat menetapkan sesuatu pada tempatnya  dengan sebenar-benarnya.[11]
Sistem nilai budaya dan berbagai nilai tradisi yang baik di Pondok Pesantren Suryalaya yang  mengembangkan Islam melalui pendekatan TQN ini perlu terus diamalkan, diamankan, dan dilestarikan serta diwariskan kepada anak cucu kita dan seluruh generasi muda sebagai penerus bangsa dan kader umat di masa mendatang. Salah satu  medianya adalah melalui pendidikan yang dilaksanakan di Pondok Pesantren berbasis Tasawuf.
Proses pelestarian dan pewarisan nilai budaya dan berbagai nilai tradisi tersebut di Pondok Pesantren Suryalaya dilaksanakan dengan cara mengintegrasikan pengajaran tasawuf dan pengamalan tarekat sejak dini, mulai tingkat SLTP sampai Perguruan Tinggi. Terpenting adalah bagaimana upaya untuk mengistiqomahkan amaliah yang dicontohkan Mursyid dalam keseharian, baik zikrullah, khataman, manakiban, ziarah, maupun amalan sunnah lainnya sebagai proses utama  internalisasi dan identifikasi ajaran Islam dalam menciptakan manusia-manusia yang mempunyai ketundukan mutlak kepada Allah SWT.
Mata pelajaran Kepesantrenan yang berisi tentang ihwal pesantren, tasawuf, dan pengamalan tarekat (TQN) adalah sarana efektif dan strategis dalam menginternalisasikan karakter baik berbasis sufistik kepada para santrinya sebagai kader umat. Sehingga mampu menciptakan para lulusan Cageur-Bageur (Budi utama dan jasmani sempurna) yang mampu melakukan transfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues), mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik. Sehingga para lulusannya menjadi manusia soleh yang mampu menghadapi dampak globalisasi penuh percaya diri dengan tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai Ilahi, bahkan mampu memainkan peranan sebagai agent of change di masa mendatang.
Lebih jauh lagi, Sistem nilai budaya sufistik tersebut mampu menciptakan sistem nilai budaya tauhid dan menjadi pondasi peradaban manusia di era global ini. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mempunyai unsur penting yang dijadikan landasan pijak membangun sebuah peradaban yaitu; Pertama, creed, yaitu keyakinan, doktrin yang berhubungan dengan hal bersifat metafisis seperti Tuhan, malaikat, jin, sorga neraka dan lain-lain; Kedua, cult, yaitu memuja dan memuji. Semua agama mengandung unsur cult dengan berbagai dimensinya; Ketiga, code, norma, syariat. Code berbicara tentang persoalan baik-buruk, yang dilarang dan dianjurkan. Syariat sudah mengalami reduksi dari makna yang seharusnya. Syariat berarti jalan sumber air menuju kehidupan. Inti dari code ini adalah etika dan moral, yang menciptakan keluhuran budi. Keempat, civilization, kekhalifahan, peradaban. Peradaban pada hakikatnya melanjutkan karya Tuhan. Islam agama satu-satunya yang secara eksplisit dan kuat menegakkan kualitas hambanya/peradaban. Nabi menciptakan tatanan negara Madinah, cerminan dari negara modern. Di sana ada pembagian tugas yang jelas, wewenang, administrasi, keuangan dan lain sebagainya. Yang belum diciptakan Nabi Muhammad SAW adalah unsur peradaban ke-2 yang berbentuk material.  Disinilah peran penting Pondok Pesantren dalam menciptakan unsur civilization. Mampu menciptakan filsafat dan sistem etika yang canggih. Etika; syajaah, berani mengambil resiko, sabar; tahan banting, percaya diri, semangat berkorban, amanah, menghargai orang lain, dan sebagainya.[12]
Penutup
            Pendidikan karakter yang sedang digadang-gadang Pemerintah sekarang, akan lebih berhasil jika dilaksanakan dengan pendekatan sufistik yang berbasis pesantren. Mengingat pendidikan di Pondok Pesantren mampu dilaksanakan secara maksimal dengan waktu yang relatif lebih panjang, sehingga memungkinkan proses pelestarian dan pewarisan sistem nilai budaya tauhid yang menjadi pondasi peradaban manusia berlangsung. Agar mencapai hasil mumpuni, sebaiknya proses pelestarian dan pewarisan sistem nilai budaya tauhid yang menjadi pondasi peradaban manusia di era global tersebut dibarengi dengan peningkatan dan perbaikan dalam bidang :
1.      Sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus tertata dengan baik, melainkan akomodasi dan kelengkapan ruangan pondok( asrama) sebagai tempat menetapnya santri.
2.      Manajemen kelembagaan dan organisasi yang merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren di abad modern perlu diterapkan, sebagai upaya meletakkan sistem yang kuat di masa depan.
3.      Sumber daya manusia, baik yang profesional di bidang agama maupun keilmuan lainnya harus terus di update dan ditambah jumlahnya setiap waktu disesuaikan dengan keperluan dan kebutuhan.
4.      Aksesibilitas dan networking sebagai upaya pengembangan di masa mendatang perlu terus ditambah dan lebih dikuatkan.
5.      Kemandirian dalam ekonomi dan pembiayaan Pondok Pesantren harus diciptakan, baik dengan pemanfaatan wakaf secara profesional maupun dengan berbagai usaha produktif  lainnya.
6.      Kurikulum yang lebih visioner dan berorientasi life skills santri dan karakter berbasis sufistik yang lebih terintegral, sejak tingkat SLTP sampai Perguruan Tinggi, sehingga mampu menjadi nilai lebih (added values) bagi pesantren dalam bersaing di pusaran global sekarang.

Daptar Pustaka
Ahmad Tafsir, Tasawuf Jalan menuju Tuhan, Latifah Press, Suryalaya Tasikmalaya, 1995.
Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi ilmu-ilmu Sosial, Rajawali Grafindo Jakarta,
                       2000.
Azyumardi. Azra,  Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru,  Logos Jakarta, 1997
Amin Haedari, dkk.. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global. IRD Press Jakarta, 2004.
Ahmad Zacky Siradj, Jendela Masa Depan, Aliansi Kebangsaan Jakarta 2013.
Asep Salahudin, Suryalaya dan Pesona Tarekat , dalam Republika, Sabtu 10 September
                        2011.
Heddy Shri Ahimsa Putra, Antropologi dan Seni: Sebuah Pengantar, Diktat Kuliah Pasca sarjana UGM, Yogyakarta, 2000.
…………………………….., Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan, Makalah Short Course, 2011.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Jakarta, 1994
Nawawi, Sejarah dan Perkembangan Pesantren, dalam Jurnal IBDA,vol.4/ 2006.
Slamet Johanes Purwadi dan Ferry Muhammadsyah Siregar , Pesantren dan Tantangan Modernitas di Indonesia, makalah ICRS Yogyakarta.
Wardana, Eksisitensi Pesantren; Oganisasi, Kepemimpinan, dan Tradisi internal, (Thesis)  FISIP- UI Jakarta 2004.
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. LP3ES,  Jakarta, 1982.
Satu Abad Pondok Pesantren Suryalaya: Perjalanan dan Pengabdian,  Yayasan Serba Bakti, 2005.
Jurnal Latifah edisi 1 Tahun 2009
Jurnal Latifah edisi 4 Tahun 2012.
Situs resmi. Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya: www.suryalaya.org.
Situs Kementrian Agama : Kumpulan makalah Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Situs. www.pondokpesantren.net.
.












[1] Azra, Azyumardi. 1997. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos
[2] Dalam istilah Nurkholis Madjid ; modernisasi di Barat telah melahirkan ekses samping dengan apa yang disebut krisis epistimologis (krisis makna hidup) karena proses modernisasi terkelupas dari dimensi moral. Modernisasi dilepas tanpa kendali dengan kapitalisme yang paling telanjang. Lihat  Ahmad Zacky Siradj, Jendela Masa Depan, Aliansi Kebangsaan Jakarta 2013: 16.
[3] Amin Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kmplesitas Global. Jakarta: IRD Press., hal. 76
[4] Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Jakarta 1994, hal 28
[5] Untuk orang Indonesia hal itu berarti merubah berbagai sifat dalam mentalitasnya yang tak cocok dengan kehidupan zaman sekarang, dan membiasakan diri dengan beberapa sifat mental pembangunan, seperti  nilai budaya yang berorientasi ke depan, berhasrat untuk mengexplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam, menilai tinggi hasil karya manusia, dan menilai tinggi usaha orang yang dapat mencapai hasil atas usahanya sendiri. Lihat  Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Jakarta, 1994, hal.141.
[6] Slamet Johanes Purwadi dan Ferry Muhammadsyah Siregar , Pesantren dan Tantangan Modernitas di Indonesia, makalah ICRS Yogyakarta.
[7]  Agus Samsul Bassar, Tradisi Pembacaan Tanbih Dalam Komunitas TQN Suryalaya, dalam Jurnal Latifah edisi 4 Tahun 2012.
[8] Wardana, Eksisitensi Pesantren; Oganisasi, Kepemimpinan, dan Tradisi internal,  FISIP- UI Jakarta 2004 , hal.49
[9] Sesuai dengan ayat al-Quran surat....... yang artinya bahwa “ tidak sekali-kali Allah menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku”
[10]  Lilis Hadaliah, Pengembangan Sumber Daya manusia di Perguruan Tinggi, dalam Jurnal latifah edisi 1 tahun 2009.
[11] Lihat Agus Samsul Bassar, Implementasi Nilai-nilai Sufistik Dalam Kurikulum Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah, dalam Jurnal Latifah edisi 1 Tahun 2009.
[12] Masdar F. Mas ‘udi, Pesantren Harus Ambil Peran dalam Dunia Global, dalam www.pondokpesantren.net.

Comments

Popular posts from this blog

Tradisi Pembacaan Tanbih dan Pewarisan nilai-nilai Budayanya dalam komunitas TQN Suryalaya

KH. NOOR ANOM MUBAROK : ISITIQOMAH BERTAREKAT DAN BERKHIDMAH SAMPAI TITIK DARAH PENGHABISAN

Kudu Asih Ka Jelema nu mikangewa ka maneh