MENGURAI HARMONISASI BERASASKAN TANBIH
A. Latar Belakang Masalah
Peranan Pondok
Pesantren dalam mencerdaskan Bangsa Indonesia tidak mampu dihapus dalam sejarah
kehidupan Bangsa Indonesia sampai kapanpun. Pondok Pesantren telah berakar kuat
dalam tradisi masyarakat Indonesia sebagai lembaga pendidikan yang mampu
mendidik dan membentuk generasi solihin dan mampu mempresentasikan sebagai
lembaga pendidikan unik yang mensintesakan dimensi sosial, budaya, dan agama
sehingga mampu tetap eksis ditengah-tengah gempuran globalisasi lembaga
pendidikan saat ini.
Dari berbagai
Pondok Pesantren yang masih tetap eksis sampai sekarang salah satunya adalah
Pondok Pesantren Suryalaya yang berlokasi di Desa Tanjungkerta Kecamatan
Pagerageung Tasikmalaya. Pesantren ini memiliki keunikan tersendiri sebagai
pusat pengembangan Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah (TQN). Hampir 107 tahun
sejak berdirinya yaitu tanggal 05 September 1905 Pondok Pesantren Suryalaya
yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad ini terus
berkiprah menyebarkan agama Islam dengan metode Tarekat Qodiriyah
Naqsyabandiyah (TQN).
Keunikan TQN Pondok
Pesantren Suryalaya yang membedakan dengan para pengamal TQN lainnya antara
lain adalah selalu dibacakan Tanbih Guru Mursyid sekaligus Pendiri Pondok
Pesantren Suryalaya Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) dan menjadi
amalan yang wajib dibaca dalam berbagai acara baik bersifat agama maupun
nasional kenegaraan. Apalagi pada acara manaqiban Syeikh Abdul Qodir al-Jaelani
yang selalu dilaksanakan para pengikut
TQN di berbagai daerah bahkan sampai ke luar negri, pembacaan Tanbih merupakan
ritual utama setelah pembacaan al-Quran dalam rangkaian acaranya.
Setiap ada
manaqiban yang diselenggarakan para ikhwan TQN PP.Suryalaya dimanapun berada,
sudah pasti akan dibacakan Tanbih Abah Sepuh tersebut. Tentunya keyakinan ini
membawa konsekwensi tersendiri bagi para pengikut TQN PP.Suryalaya dalam
mengamalkan Islam dengan menggunakan pendekatan TQN, bukan hanya sekedar
pembacaan monoton saja.
Tanbih adalah
wasiat, pesan, tuntunan, peringatan, pedoman dari seorang Syeikh Mursyid Abah
Sepuh, lahir dari serangkaian dialog
antara keabadian firman Allah yang universal dan eternal dengan kondisi lokal
dan aktual di Indonesia satu abad yang lalu. Latar belakang ini yang membuat
penulis tertarik untuk mendalami pemikiran cemerlangnya dalam mendakwahkan
Islam melalui Tanbih ini, yang terbukti mampu menjadikan Pondok Pesantren Suryalaya
tetap eksis sampai 107 tahun lebih dan TQN Suryalaya mampu berkembang ke
berbagai daerah bahkan ke luar negri.
B.
TANBIH SEBAGAI PEDOMAN HIDUP
Tanbih sebagai produk budaya merupakan hasil perenungan panjang
Abah Sepuh dalam memahami nilai-nilai Islam dengan bingkaian kearifan lokal
berbasis kesundaan. Tanbih lahir dari kesadaran tinggi Abah Sepuh untuk
membingkai berbagai pesan Ilahi dalam peta kekinian agar mampu dilaksanakan dan
dijadikan pedoman oleh berbagai tingkatan manusia dengan segala keterbatasannya
yang mengharap kehidupan suci dan tinggi di sisi Penciptanya. Malah Tanbih
diharapkan mampu membingkai kehidupan para muridnya agar tetap berlaku
sebagaimana dicontohkan olehnya dalam kehidupan sehari-hari.
Tanbih adalah wasiat, pesan,
tuntunan, peringatan, pedoman, bagi para ikhwan dalam mengamalkan ajaran Islam
menurut metode Qodiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya. Tanbih merupakan
suatu wujud kecintaan mendalam seorang Guru Mursyid (Abah Sepuh) terhadap para muridnya, agar senantiasa bersikap dan bertindak sesuai
dengan ajaran tarekat Islam.
H.A.S.Nasution
(1995: 125) menguraikan bahwa diantara inti Tanbih selain doa dari Sang Mursyid
untuk para muridnya dan perintah menjaga persatuan dan kesatuan adalah
merupakan:
1.
Peringatan
untuk selalu menjaga kewaspadaan diri, sebagai
wujud keprihatinan Syeikh Mursyid kepada para murid, sebagai pancaran kasih
sayang yang besar darinya, sehingga para murid mempunyai pedoman dalam
menjalani kehidupan ini. Bagaimana cara menjaga kewaspadaan diri dalam
kehidupan ini? Caranya tidak lain adalah dengan selalu berhati-hati dalam
segala hal, jangan sampai melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peraturan
agama dan negara. Selain itu, Syeikh Mursyid memberi peringatan agar selalu
waspada agar jangan terpancing bujukan syetan dan jalan penyelewengan, sebagai
tindakan repressip. Dalam Tanbih ditegaskan: ”Insyafilah hai
murid-murid sekalian, janganlah terpaut oleh bujukan nafsu, terpengaruh oleh
godaan setan, waspadalah akan jalan penyelewengan terhadap perintah agama
maupun negara, agar dapat meneliti diri, kalau kalau tertarik oleh bisikan
iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita”.
2.
Peringatan pentingnya Mengenal Diri dan selalu instrospeksi
terhadap diri, karena berbagai penderitaan yang dialami dalam kehidupan ini
adalah akibat amal kita sendiri. Seperti ditegaskan Tanbih: “Cobalah
renungakan pepatah leluhur kita:“ Hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan
damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian
tak berguna”. Karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah
akibat dari amal perbuatan diri sendiri” .
Islam
diyakini sebagai agama yang bersumber wahyu dari Allah diharapkan menjadi agama
yang membawa rahmat bagi setiap manusia secara universal. Tentu, dalam
pengamalannya tidak boleh lepas dari
kepentingan dan kebaikan manusia tersebut dan perlu ada adaptasi dan berbagai
kompromi dalam realisasinya dengan berbagai hal yang terjadi di sekitar
kehidupan manusia itu sendiri sehingga mampu memberi manfaat bagi kehidupannya.
Tanbih Abah Sepuh yang notabene berbahasa Sunda sudah pasti tidak
muncul begitu saja, melainkan diawali dengan serangkaian peristiwa yang
melatar-belakanginya dan hasil dari serangkaian dialog antara keabadian firman
Allah yang universal dan eternal dengan kondisi lokal dan aktual di bumi Tatar
Sunda ketika itu. Menurut sejarah, Tanbih adalah karya Syeikh Abdullah
bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) yang dikeluarkan oleh KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul
Arifin (Abah Anom) sebagai mursyid penerus Abah Sepuh pada
tanggal 13 Pebruari 1956.
Abah Sepuh
sebagai seorang Guru Mursyid yang diberi amanat dari gurunya Syeikh Tolhah
Kalisapu Cirebon dengan bijak menterjemahkan berbagai nilai-nilai Islam dalam
kehidupan masyarakat dengan bahasa yang dipahami oleh masyarakat itu sendiri
atau dalam istilah Hadits ”a’la Lisani Qaumihi”. Abah Sepuh tentu mengetahui
bahwa budaya setempat sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dakwahnya, apalagi
fenomena mendakwahkan Islam dengan pendekatan TQN di waktu itu sangat baru dan
dianggap aneh. Untuk itu dengan menggunakan bahasa yang berlaku di masyarakat
(Sunda) diharapkan dakwahnya mampu diterima oleh masyarakat setempat, mengingat
bahasa merupakan cerminan budaya bangsa. Dengan menguasai bahasa suatu
masyarakat secara otomatis mampu menguasai budaya masyarakat tersebut.
Levi-Strauss
yang terkenal dengan teori strukturalnya bahwa untuk mempelajari kebudayaan
atau perilaku suatu masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa. Dalam konteks penelitian linguistik kebudayaan, pendekatan
struktural ini diperlukan karena bahasa, kebudayaan, makna merupakan sebuah
sistem. Sistem itu terealisasi melalui bentuk-bentuk tertentu, dan dengan
fungsi-fungsi tertentu. Bentuk, fungsi, dan makna bahasa dapat mengungkapkan
makna budaya. Makna budaya itu menyiratkan nilai yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat bahasa yang bersangkutan. Fenomena sosial budaya dianggap sebagai bahasa
untuk “menyatakan sesuatu” atau untuk mengkomunikasikan sesuatu. Asumsi
dasarnya bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat
tinggal, pakaian dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai
bahasa-bahasa untuk “menyatakan sesuatu” atau untuk mengkomunikasikan sesuatu.
Dan dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis
untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur
tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya.
Tanbih sebagai
produk budaya lokal merupakan nilai-nilai dan norma yang sengaja dibuat dan
dikondisikan bagi komunitas TQN Suryalaya. Agar nilai-nilai dan norma tersebut
mampu menciptakan tatanan social yang baik, maka menurut pandangan Parson
diperlukan integrasi struktur normatif
bersama terhadap penyusunan kebutuhan manusia. Struktur tersebut meliputi elemen-elemen
paling permanen dalam masyarakat. Elemen-elemen sebagai nilai-nilai,
norma-norma, kolektivitas, dan peran-peran yang dimiliki masyarakat. Bahkan
agar struktur sosial itu mampu bertahan perlu adanya: adaptasi, pencapaian
tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola.( Lihat Adam
Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi ilmu-ilmu Sosial, hal. 730)
Dalam
perspektif Struktural-Fungsional yang digagas Parson,Tradisi Pembacaan Tanbih
merupakan perwujudan dari tindakan manusia (dalam komunitas TQN Suryalaya) yang
berpola sebagai cerminan budaya komunitas TQN Suryalaya. Cerminan budaya ini
diyakini memiliki pola yang digunakan dalam komunitas tersebut sebagai Kerangka
Teori Tindakannya. Dengan demikian Tradisi Pembacaan Tanbih dalam komunitas TQN
Suryalaya merupakan kerangka teori tindakan atau pedoman hidup bagi komunitas
TQN dalam mengikuti jejak langkah
kehidupan Sang Mursyid sebagai pencetusnya. Karena Tanbih pada dasarnya adalah
ekspresi, perwujudan, atau simbolisasi dari pandangan-pandangan atau
perasaan-perasaan Abah Sepuh sebagai seorang tempat bertanya tentang TQN (Guru
Mursyid) terhadap berbagai sendi-sendi kehidupan demi keselamatan para
pengikutnya. Pandangan-pandangan dan perasaan ini dikomunikasikan dan
disampaikan kepada para muridnya dengan wahana Tanbih. Sebagai suatu tuntunan
bagi komunitas TQN, berbagai aspek yang terdapat dalam Tanbih merupakan suatu
pola yang tidak berdiri sendiri melainkan saling berhubungan dengan aspek lain
yang berguna untuk: mencari pemuasan psikis, kepentingan dalam menguraikan pengertian-pengertian
simbolis, kebutuhan untuk adaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan usaha
untuk berhubungan dengan anggota lainnya. Abah Sepuh sebagai seorang Guru Mursyid dalam sebuah Tarekat
memandang perlu adanya suatu pengikat bagi para muridnya agar dapat mengikuti
jejak langkahnya dalam menggapai kehidupan tertinggi sebagai seorang manusia.
Tanbih bagi pengikut TQN Suryalaya bukan sekedar untuk dibaca saja, melainkan
harus diamalkan agar mampu mengikuti jejak langkah gurunya tersebut, bahkan menjadi suatu pola tindakan atau pedoman hidup
yang menjadi sandaran dalam keseharian mereka.
Ketika Tanbih
dibacakan yang diulang di setiap kegiatan, dari aspek komunikasi merupakan
suatu pembelajaran secara doctrinal efektif kepada seluruh yang hadir. Pembacaan isi Tanbih pada
setiap kegiatan di kalangan ikhwan TQN,
dapat dipandang sebagai peristiwa pembelajaran
yang menghasilkan efek :
a. Internalisasi adalah penerimaan pesan isi Tanbih yang berkaitan
dengan apa yang mesti dilakukan ikhwan TQN agar memperoleh kebahagiaan,
ketentraman dan keseimbangan kondisi lahir dan batin.
b. Identifikasi adalah suatu kondisi ketika seorang ikhwan meniru
perilaku atau contoh teladan Gurunya, untuk mencapai kebahagiaan tersebut.
c. Ketundukkan (compliance) adalah kondisi manakala seorang
ikhwan menerima pengaruh Tanbih, karena ’ berharap memperoleh reaksi yang
menyenangkan atau membantunya untuk menghasilkan efek sosial yang memuaskan,
yaitu ketenangan dan ketentraman lahir batin di manapun hidup.
C. MENGURAI HARMONISASI BERASASKAN TANBIH
Sebagai suatu pola tindakan atau panduan hidup bagi para pengikut
TQN Suryalaya, Tanbih dapat membantu untuk menginterpretasi dalam memahami
lingkungan hidupnya dan mendorong serta menghasilkan tindakan-tindakan untuk
memanfaatkan berbagai sumber daya dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.
Tanbih sebagai sebuah produk kebudayaan menjadi tuntunan dan pedoman moral
serta etika bagi para ikhwan TQN di tengah berbagai perubahan nilai-nilai
budaya dan gempuran globalisasi.
Maka setiap ikhwan TQN Suryalaya yang benar-benar melaksanakan
seluruh ajaran dan petuah Guru Mursyidnya, sudah pasti mampu
menginternalisasikan nilai-nilai Tanbih dalam kehidupannya. Diantara
nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Tanbih antara lain:
1.
Ikhwan TQN dibina untuk memiliki kepribadian
berlandaskan iman dan takwa secara teguh walaupun hidup di tengah masyarakat
berbeda agama dan mepunyai kepribadian mulia yang mampu menempatkan diri di
kalangan manusia manapun. TQN menuntun
manusia agar Cageur Bageur dan mendapat
ridha Allah, sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat. Sebagaimana doa
yang selalu dibaca dalam muqaddimah sebelum melakukan Dzikrullah:
الهى انت مقصودي ورضاك مطلوبي اعطني
محبتك ومعرفتك
Artinya :“ Tuhanku, Engkaulah yang aku
maksud dan keridoan-Mu yang aku cari. Berilah aku kemampuan untuk bisa
mencintai-Mu dan ma’rifah kepada-Mu”
Do’a
yang selalu dibaca tiga kali sebelum mengamalkan dzikir ini mengandung empat
macam tujuan TQN , yaitu :
a. Taqarrub
kepada Allah SWT :
yaitu mendekatkan diri kepada Allah
dengan jalan dzikrullah. Dzikrullah merupakan hakekat kecintaan seorang abid
kepada Khaliqnya. Semakin banyak ia berdzikir kepada Allah, maka semakin
cintalah ia kepada-Nya. Hanya Allah saja yang patut disembah, hanya pada-Nya
yang dimaksud, dan hanya kepada-Nya saja mengantungkan harapan serta yang
menjadi tujuan akhir hidupku.
b. Menuju
jalan Mardhātillah, yaitu
menuju jalan yang diridhai Allah SWT, baik dalam ‘ubudiyyah maupun di luar
ubudiyyah, dan hanya mengharapkan keridloan-Nya dalam setiap kehidupan. Tidak
pantas kalau mengharapkan ridha-Nya, akan tetapi tidak rela atas ketentuan
Alloh dan semua peraturan-Nya. Untuk itu dalam segala gerak gerik manusia
diharuskan mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi atau meninggalkan
larangan-larangan-Nya (dalam arti selalu taqwa kepada Allah). Dengan suatu
harapan mampu menghasilkan : Budi pekerti menjadi mulia, akhlaknya pun mulia
dan segala hal ihwalnya menjadi mulia pula, baik yang berhubungan dengan Allah,
maupun yang berhubungan dengan sesama manusia, atau dengan makhluk Allah yang lainnya.
c. Kema’rifatan
(al-ma’rifah);
melihat Tuhan dengan mata hati, sehingga gamblang, tidak ragu- ragu atau
bimbang terhadap Allah, baik terhadap Zat- Nya, sifat- sifat- Nya, maupun
segala perbuatan-Nya. Keraguan terhadap Allah SWT akan membawa keraguan
terhadap semua itu, sehingga akan meragukan berbuat kebaikan di dunia dan
meragukan berbuat baik untuk bekal di akherat. Ma’rifat dan tidaknya seseorang
akan tergambar baik pada ucapan, hati, maupun perbuatannya dalam kehidupan
sehari-hari.
d. Kemahabbahan
(kecintaan) terhadap Allah “Dzat
Laisa kamislihi Syaiun”, yang
mana dalam mahabbah itu mengandung keteguhan jiwa dan kejujuran hati secara
totalitas, mengharapkan akan memperoleh sikap mencintai Allah melebihi cintanya
kepada makhluk- Nya. Dengan itu akan mencintai apa yang dicintai Allah dan
semua pemberian Allah dan semua ciptaan- Nya berupa dunia dan seisinya. Apabila
telah tumbuh mahabbah dalam diri seseorang maka timbullah berbagai hikmah,
diantaranya membiasakan diri dengan
selurus-lurusnya dalam hak lahir dan
batin, serta mampu berbuat adil dalam arti dapat menetapkan sesuatu pada
tempatnya dengan sebenar-benarnya.
2.
TQN sangat menjunjung tinggi Agama dan Negara,
dalam arti kepatuhan terhadap peraturan agama sejajar dengan kepatuhan terhadap
peraturan Negara. Kehidupan dunia tidak bias dipisahkan dengan kehidupan
akhirat, malah dunia ini merupakan arena pengumpulan berbagai amal ibadah baik
dalam kerangka hablumminallah maupun hablumminannas. Sehingga
para ikhwan TQN dapat hidup dengan aman dan tenteram bersama warga Negara yang
tidak seajaran – bahkan mungkin- tidak seagama dengannya.
3.
TQN berpijak pada prinsip kehidupan bersama
yang aman, nyaman, damai, rukun dan
tentram yang dirangkum dalam kata Cageur Bageur. Cageur artinya
sehat baik lahir maupun batin. Bageur artinya baik terhadap diri dan sesamanya
di dalam menjalani kehidupan social maupun individual. Orang yang ‘bageur’
memiliki ciri-ciri : sayang kepada dirinya dan kepada orang lain, kalaupun
tidak dapat memberi perlindungan paling tidak ia tidak membuat orang lain merasa
terancam. Ia memiliki aura positip sebagai teman. Bageur bukan sifat dasar
manusia oleh karena itu ‘Cageur Bageur’ dicapai melalui amaliah keempat
ajaran di atas.
4.
TQN
menghendaki agar ikhwan menjalankan kehidupan social dengan cara membaur
bersama anggota masyarakat lainnya di manapun berdomisili. Setiap tingkat
spiritualitas dicapai melalui amaliah di tengah-tengah masyarakat dengan
berbagai permasalahannya.
Betapa harmonisnya kehidupan ketika setiap
ikhwan TQN mampu mengamalkan nilai-nilai luhur Tanbih tersebut. Mereka lahir sebagai
insan-insan berbudi luhur, taat terhadap aturan agama dan negara, luwes dan
memiliki daya tahan terhadap berbagai rintangan dalam kehidupan sosial. Bahkan
lebih kuat lagi diikat dengan Untaian Mutiara- adalah batu permata yang tumbuh
di dalam kerang yang terbentuk dalam waktu lama dan tidak akan pecah karena ia
sangat keras, akan tetapi memiliki keindahan yang diidamkan manusia, sehingga
ia menjadi harta berharga - yang harus dianut dan diamalkan oleh segenap ikhwan
TQN. Untaian Mutiara itu adalah:
1. Ulah ngewa ka ulama anu sajaman, bahwa segenap pengamal TQN tidak boleh membenci
ulama semasa yang dimungkinkan ajaran yang dikembangkannya dan pemahaman yang
disebarkannya berbeda.
2. Ulah nyalahkeun kana pangajaran batur, segenap pengamal TQN
tidak boleh menyalahkan apa yang diajarkan orang lain. Hal ini menegaskan bahwa
pengamal TQN dibina untuk dapat hidup rukun dalam perbedaan. Mengakui adanya
ragam ajaran dan pemahaman dan mengakui kemerdekaan setiap orang untuk
mendapatkan pendidikan dan pengajaran secara berbeda.
3. Ulah mariksa murid batur, segenap pengamal TQN tidak boleh menguji
seseorang yang berbeda guru. Sekali lagi tampaknya kehidupan saling menghormati
dan menghargai antar sesama perguruan ditekankan kepada ikhwan TQN.
4. Ulah medal sila upama kapanah, ikhwan TQN tidak boleh menghindar ketika memang
harus menghadapi bahaya atau permasalahan yang menimpanya. Butir ini tampak
lebih menekankan kepada rasa tanggungjawab dan tawakkal menghadapi berbagai permasalahan di dalam
kehidupan.
Kudu asih ka jalma nu mikangewa ka maneh, yaitu para ikhwan TQN dibina
untuk menunjukkan sikap dan rasa sayang kepada orang atau pihak yang
menunjukkan kebencian kepadanya. Sikap ini tampaknya dimaksudkan untuk
menyebarkan kasih sayang di antara sesama muslim dan sesama manusia dan
berupaya menekan sikap saling membenci dengan dasar bahwa kebaikan akan
mengalahkan keburukan. Keseluruhan rangkaian mutiara merupakan suatu konsep hidup harmonis dalam
suatu tatanan masyarakat yang heterogen, dikembangkan secara futuristik untuk
menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial sebagai
akibat dari kemajuan iptek, globalisasi, dan lainnya.
Daptar Pustaka
Ahmad Tafsir, Tasawuf Jalan menuju Tuhan,
Latifah Press, Suryalaya Tasikmalaya, 1995.
Adam Kuper
& Jessica Kuper, Ensiklopedi ilmu-ilmu Sosial, Rajawali Grafindo
Jakarta,
2000.
Asep Salahudin,
Suryalaya dan Pesona Tarekat , dalam Republika,
Sabtu 10 September
2011.
Heddy Shri Ahimsa Putra, Antropologi dan
Seni: Sebuah Pengantar, Diktat Kuliah Pasca sarjana UGM, Yogyakarta, 2000.
…………………………….., Paradigma Ilmu Sosial-Budaya:
Sebuah Pandangan, Makalah Short Course, 2011.
Nawawi, Sejarah dan Perkembangan Pesantren,
dalam Jurnal IBDA,vol.4/ 2006.
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi
Tentang Pandangan Hidup Kiai. LP3ES,
Jakarta, 1982.
Satu Abad Pondok Pesantren Suryalaya:
Perjalanan dan Pengabdian, Yayasan Serba
Bakti, 2005
Situs resmi. Pondok Pesantren Suryalaya,
Tasikmalaya: www.suryalaya.org.
Situs resmi Bidang Inabah Yayasan Serba Baakti
PP.Suryalaya: www.inabah.com.
Situs Kementrian Agama: Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agama, Jakarta
Situs Kementrian Agama : Kumpulan makalah
Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
Comments
Post a Comment