UPAYA MELEJITKAN MAHASISWA KE TINGKAT DUNIA: Re-Orientasi Pembelajaran Bahasa Asing dan Academic Writing
Pembelajaran bahasa asing
(Arab dan Inggris) di Perguruan Tinggi Islam termasuk Mata kuliah Dasar Umum yang
diajarkan sejak semester pertama sampai kedua, bahkan di beberapa perguruan
tinggi ditambah sampai semester empat.Tujuannya sangat jelas yaitu agar mahasiswa
mampu membaca (reading), mendengar (listening), menulis (writing), dan
berbicara (speaking)dengan bahasa tersebut.
Apa daya realitas yang
terjadi sebagian lulusan (kalau tidak hampir 90 persen), standar kemampuan
berbahasa asing masih relatif rendah dibandingkan dengan tetangga sesama negara
Asean, contohnya Malaysia atau Filipina. Padahal dalam sejarah akademik dunia
di abad-18 an, tercatat banyak sekali para ulama dari Indonesia yang dikenal
dengan Ulama Jawi memegang peranan penting dalam dunia akademik tingkat
internasional, sampai sekarang karangannya masih dibaca dan digunakan di dunia
Islam. Sebut saja salah satunya Syeikh Imam Nawawi al-Bantani yang mengarang
ratusan kitab dan masih digunakan kitabnya sampai sekarang di negara-negara
muslim.
Berbeda dengan sekarang,
hanya sedikit sekali hasil karya anak bangsa yang dikenal dan dijadikan rujukan
dunia, dikarenakan kualitas hasil karya yang kurang mumpuni dan ditambah
ketidakmampuan menulis hasil karyanya dengan bahasa asing. Ketika berbicara tentang
dunia Islam misalnya, paling hanya berkutat pada karya Nurcholis Majid, Gus Dur
atau Azumardi Azra, atau beberapa ulama dahulu seperti .
Bisakah muncul kembali
para intelektual kelas dunia di Indonesia,khususnya dari kalangan Perguruan
Tinggi Islam? Ya,pasti bisa jawabannya. Salah satu solusinya adalah dengan
memperbaiki metode pembelajaran bahasa asing, khususnya bahasa Arab dan Inggris
dengan berpatokan kepada 4 kompentensi berbahasa diatas yang diselaraskan
langsung dengan kemampuan menulis karya ilmiah (Academic Writing). Dalam arti
para mahasiswa bukan hanya sekedar mampu menulis jawaban ulangan semester dan
mendapatkan nilai A. Tetapi yang lebih penting bagaimana mereka dilatih dan
dibiasakan untuk senantiasa mendengar dan membaca litelatur berbahasa Arab dan
Inggris serta berbicara dan menulis hasil karya ilmiahnya dengan bahasa
tersebut.Sehingga lambat laun otaknya mampu untuk memproses pikiran dan
menuangkan ide kreatif hasil berpikirnya secara langsung dengan bahasa Arab
atau Inggris, tanpa perlu melalui proses penterjemahan. Ini memerlukan latihan
terus menerus dan pembiasaan sebagai proses menuju kesadaran berbahasa dan
berpikir ilmiah.
Semakin baik kemampuan
berbahasa seseorang, akan semakin baik pula cara berpikirnya, karena ternyata
keduanya sangat berkaitan. Berpikir
yang merupakan rangkaian proses kognisi bersifat pribadi (information processing), berlangsung selama terjadinya stimulus
sampai dengan munculnya respon (Morgan, 1989:228). Dan untuk berpikir digunakan
simbol-simbol yang memiliki makna tertentu bagi individu. Dalam kaitan ini
karakteristik pikiran manusia berkenaan dengan bahasa (Glover,
1987:140).(VippValiant. Academia.edu).
Inilah ternyata
kekurangan yang baru disadari ketika diberi kesempatan oleh Diktis Kemenag RI
untuk mengikuti Shortcourse Metodologi oleh kebanyakan para peserta. Sejak
kemampuan bahasa Inggris yang tidak jelas ala British atau US,ditambah
kekurangan dalam “prounountition”, sampai menyelaraskan metode penelitian dan
cara menulisnya dengan baik agar diterima oleh jurnal internasional. Mari kita
mere-orientasikan kembali pembelajaran bahasa asing dan academic writing di
perguruan tinggi masing-masing agar mampu melejitkan para mahasiswa ke tingkat
dunia.(Catatan Leiden.1)
Comments
Post a Comment